16 Desember 2013

MELIHAT APA YANG TAK TERLIHAT

Kemarin malam, (tanpa sengaja) saya menonton sebuah film berjudul The Magic of Belle Isle. Film produksi tahun 2012 yang disutradarai oleh Rob Reiner dan dibintangi oleh Morgan Freeman ini sebenarnya kurang begitu menarik bagi saya, namun pada akhirnya saya menontonnya juga sampai selesai. Dan saya melakukan itu karena suatu alasan...alasan yang akan menjadi topik utama dalam tulisan saya kali ini.


Saya tak akan menceritakan pendapat saya atau menuliskan reviewnya. Tapi bagi yang belum pernah menonton filmnya atau ingin tahu bagaimana cerita film tersebut, bisa membaca ulasannya di sini. Yang akan saya bahas kali ini adalah tentang salah satu adegan dalam The Magic of Belle Isle yang cukup menggelitik saya.

Jadi, di film tersebut Morgan Freeman berperan sebagai Monte Wildhorn, seorang penulis alkoholik yang hidup di atas kursi rodanya. Wildhorn memutuskan berhenti menulis sejak ditinggal mati oleh istrinya enam tahun lalu dan lebih banyak menghabiskan waktunya tenggelam dalam larutan wiski. Sampai akhirnya dia bertemu dengan gadis cilik bernama Finn O'Neils (diperankan oleh Emma Fuhrmann) , yang memaksanya untuk menjadi mentor dalam menulis cerita. Karena kerasnya kemauan si gadis kecil Finn, akhirnya Wildhorn luluh dan bersedia menjadi mentor baginya.

Adegan yang saya maksud di sini adalah ketika Wildhorn dan Finn berdua di pinggiran jalanan sepi di desa Belle Isle. Di sana Wildhorn mencoba mengasah ketajaman imajinasi Finn dengan menyuruhnya menatap jalanan yang ada di hadapan mereka.

"Apa yang kau lihat?" ucap Wildhorn.

"Aku melihat jalanan yang sepi." balas Finn.

"Lalu, apa yang tak kau lihat?"

Saya sungguh tertarik dengan bagaimana metode Wildhorn untuk menumbuhkan imajinasi gadis kecil seperti Finn. Melihat apa yang tidak terlihat. Menciptakan dunia sendiri di dalam pikiran kita. Melepaskan puzzle-puzzle kisah yang ada di kepala kita, secara bebas, tak terbatas dan liar.

Dulu sekali, saya sering sekali melakukan hal yang sama. Saya sering menatap ruang keluarga di rumah saya dan membayangkan andai di sana akan ada banyak kejadian-kejadian, yang saya secara sadar mengetahuinya, tak akan pernah benar-benar terjadi. Atau ketika saya diajak ayah saya berburu, (dulu ketika saya masih duduk di Sekolah Dasar, saya sering diajak ayah keluar masuk hutan dan tugas saya membawakan senapan anginnya) pikiran saya selalu mengembara mengembangkan plot demi plot seru, yang tentu saja, hanya ada di dalam otak saya. Saya membayangkan andai yang diburu ayah saya bukanlah tupai, tapi zombie yang terus berlari dan berpacu dengan waktu untuk melawan ayah saya. Saling buru. Saling mengatur strategi. Saling berusaha membunuh lebih dulu sebelum terbunuh. Hingga perburuan ayah saya malah menjebaknya di sebuah gua dimana zombie tersebut bersama puluhan zombie yang lain telah menunggunya.

Sekali lagi, semua itu hanya terbayangkan. Hanya terandaikan. Sebatas eksis di pikiran kita. Dan andaikan saya tak pernah mengeluarkannya dari dalam tempatnya, maka cerita ayah saya yang dicabiki puluhan zombie itu tak akan pernah diketahui oleh siapapun.

Imajinasi adalah kemampuan yang begitu luar biasa yang dimiliki oleh manusia. Pernahkah anda duduk sendirian di teras rumah, melamun dan mulai berfikir bahwa halaman depan rumah anda pasti akan lebih indah jika ditanami bunga mawar? Pernahkah anda menatap kekasih anda, dan berkata padanya bahwa dia akan terlihat lebih cantik atau tampan bila memakai baju dengan warna tertentu? Pernahkah anda berlibur ke tempat bersejarah, menatap lama-lama bangunan-bangunannya, dan membayangkan bagaimana kehidupan dan suasana di tempat itu beberapa ratus tahun silam? Pernahkah anda menatap tembok kamar anda, dan membiarkan pikiran anda berkelana ke tempat lain? Itulah imajinasi. Itulah yang diajarkan Monte Wildhorn kepada Finn O'Neils; melihat apa yang tidak terlihat.

Saya tidak tahu orang lain, tapi bagi saya, hal tersebut adalah pijakan paling awal dan paling dasar sebelum saya mulai untuk menulis sesuatu. Mencoba membebaskan imajinasi saya dari kungkungan logika dan hukum pasti, adalah hal yang paling penting. Jangan pedulikan kaidah-kaidah penulisan yang bersifat teknis. Mulailah untuk berimajinasi terlebih dahulu. Bebaskan pikiran. Biarkanlah mata kita melihat banyak hal yang tidak terlihat. Seringlah berjalan-jalan ke tempat-tempat baru. Seringlah duduk berlama-lama di tempat yang bisa membuat kepekaan perasaan kita menjadi lebih tajam. Dan, mulailah menulis. Mulailah menceritakan kepada setiap orang, kisah yang mampu anda saksikan, tapi mereka tak mampu menyaksikannya. Mulailah menyebarkan dunia yang hidup di kepala anda.


de Baron Martha

Tidak ada komentar: